Hot Posts

6/recent/ticker-posts

PENDIDIKAN DALAM KACAMATA KI HAJAR DEWANTARA

 


PENDIDIKAN DALAM KACAMATA KI HAJAR DEWANTARA

            Suatu hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, hal yang membawa pengetahuan, peradaban dan yang membedakan manusia dengan ciptaan Tuhan yang lainnya. Pendidikan, sesuatu hal yang dari dulu hingga dewasa ini masih menjadi kebutuhan pokok insan di dunia. Berbicara mengenai pendidikan, salah satu tokoh yang andil adalah Ki Hajar Dewantara atau Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Hari pendidikan nasional yang jatuh setiap tanggal 2 Mei merupakan hari lahir Ki Hajar Dewantara pada tahun 1889. Nama Ki Hajar Dewantara dikenal setelah beliau mendirikan sekolah yaitu sekolah taman siswa.

            Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara mempunyai makna yaitu menuntun, membimbing, mengarahkan suatu potensi yang telah ada terlebih dahulu ada dalam diri anak tersebut sesuai dengan kodratnya. Dalam membahas pendidikan, Ki Hajar Dewantara memfokuskan pada tujuh point penting dimana pendidikan itu menuntun bukan menuntut. Point tersebut diantaranya tujuan pendidikan, dasar kerja pendidikan, sistem pendidikan, aktifitas pendidikan, ranah dalam pendidikan, metode belajar-mengajar, kodrat anak dan peralatan pendidikan. Sebagai seseorang yang mendapat gelar Bapak Pendidikan tersebut juga menganalisis konsep pendidikan itu sendiri, juga melihat gaya pendidikan Barat dan memberi saran kepada pendidikan Indonesia dengan melihat konsep masa lalu dimana masih relevan dan patut untuk dianut sepanjang masa.

            Tujuan dari pendidikan dirangkum dalam “ Tri Rahayu “. Tri berarti tiga dalam bahasa jawa dan rahayu yang berarti tentram. Penjelasan mengenai Tri Rahayu ialah Hamemayu Hayuning Sarira, Memayu Hamemayu Hayuning Bongso lan Hamemayu Hayuning Bawono. Dalam tujuan pendidikan yang di bawa oleh Ki Hajar Dewantara ialah memuat 3 hal penting, sejatinya pendidikan membawa kehidupan terjamin dan suatu peradaban atau hidup ialah kuncinya dari sebuah pendidikan. Dari Tri Rahayu sendiri memiliki arti menjaga dan memlihara diri, menjaga dan memelihara bangsa dan yang ke tiga adalah menjaga dan memelihara alam semesta. Dimaksudkan bahwa sejatinya pendidikan berguna untuk merawat dan mengembangkan diri sendiri, dimulai dari diri sendiri kemudian bisa mengubah atau memperbaiki bangsa dan yang terakhir ialah dengan pendidikan bisa menjaga, merawat, dan menempatkan alam semesta di porsinya. Dengan Tri Rahayu ini, tujuan dari pendidikan yang dimaksud oleh Ki Hajar Dewantara.

            Dalam menjalankan suatu pendidikan, tidak lepas dari suatu dasar. Ki Hajar Dewantara merangkum dasar kerja dari pendidikan, yaitu “ Tri Loka “. Pasti tidak asing lagi dengan semboyan Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani “. Sebagai pendidik, wajib untuk bisa melihat posisi kita dimana nantinya. Apabila di depan, segala sikap dan ucap harus bisa menjadi contoh dan memberi contoh. Untuk di tengah atau sejajar, maka dapat menciptakan kreatifitas. Memberi semangat agar apa potensi yang dimiliki dapat berkembang tidak hanya menuntut dan memberi kekangan. Lalu yang terakhir adalah Tut Wuri Handayani, kembali lagi pendidikan bukan untuk menuntut tapi untuk menuntun, menguatkan, mendukung segala potensi agar berkembang selaras dengan apa yang dimau tanpa adanya hukuman dan paksaan.

            Setelah membahas sedikit point tentang dasar yang diberikan Ki Hajar Dewantara, lalu bergeser dengan sistem, yaitu “ Tri Mong “. Dalam sistem ini dikenal dengan momong, among, dan ngemong. Dimana momong yaitu, merawat dengan menanamkan kebaikan. Among, memberi contoh tanpa harus memaksa. Ngemong, berarti merawat, menjaga agar tetap berkembang. Jika pendidikan hanya momong, tanpa diberi contoh maka darimana akan paham suatu hal, dan jika tidak bisa ngemong, tidak akan berkembang suatu potensi dalam diri tersebut. Kemudian menyambung dengan aktifitas pendidikan yang diberi nama “ Tri Pusat “, dalam hal akttifitas dimaksudkan pendidikan itu harus bergerak di dalam 3 ranah. Pertama keluarga, disebutkan juga bahwa sekolah atau madrasah pertama anak yaitu keluarga. Didalam keluarga ini watak dan akhlak seseorang terbentuk. Jangan menyamakan watak satu orang dengan lainnya, pasti berbeda karena berasal dari keluarga yang berbeda. Akhlak dapat dibentuk dengan pola lingkungan dan pengaruh individu lainnya, namun watak tidak bisa langsung dan cepat berubah karena merupakan dasar yang diperoleh dari keluarga. Tidak bisa meminta seseorang dengan watak atau karakter yang dimau, dilahirkan dikeluarga mana saja tidak bisa meminta, semua sudah diberikan sesuai porsinya masing – masing. Selanjutnya pada lingkup perguruan, yang dimaksud perguruan yaitu tingkatan atau lembaga mulai dari sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas atau kejuruan, dan pada tingkat perguruan tinggi. Dalam lingkungan perguruan individu akan mendapatkan tambahan wawasan, tidak hanya terpaku pada satu yang diyakini benar. Namun mendapatkan tambahan ilmu yang luas dan dapat mendukung potensinya berkembang. Hal yang salah ketika diperguruan malahan tidak mendapati apa -apa, itu suatu hal yang patut dipertanyakan. Yang terakhir adalah aktifitas dalam pergerakan pemuda. Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri, seseorang tidak mungkin dapat hidup tanpa bantuan orang lain sekecil apapun itu bentuknya. Ketika seseorang mengatakan bahwa dirinya hanya seorang kutu buku dan tidak aktif dalam organisasi manapun, maka ia telah berada dalam suatu kelompok pemuda yang sama – sama menyukai buku. Dalam hal pergerakan pemuda ini menumbuhkan sifat bertanggung jawab. Pendidikan hadir disetiap aktifitas penting manusia, mulai dari dasar nya yaitu keluarga, setiap jenjang pergururan, bahkan hadir dalam pergerakan pemuda.

            Pendidikan memiliki ranah, atau hal yang harus dilakukan dan dikerjakan. Dalam hal ini dikenal dengan “ Tri Nga “. Satu, ngerti atau tahu dimaksuda=kan dalam hal pemahaman dan kognisi dapat terjamin. Kedua, ngrasa atau merasa, tersentuh pendidikan. Menddapat afeksi dari pendidikan tersebut. Lalu yang terakhir adalah nglakoni atau menjalankan. Dalam hal nglakoni ini seorang individu tergerak atas apa yang didapatkannya. Jika hanya ngerti dan ngrasa maka tidak akan ada efek kongkrit. Jika hanya ngrasa dan nglakoni tanpa mendapat atau memahami maka akan kacau, tanpa ilmu dan akan seenaknya. Lalu jika hanya ngerti kemudian nglakoni, maka akan dijalnakan tanpa adanya penghayatan, binggung sebenarnya apa yang ia lakukan.

            Menyampaikan atao metode yang baik dalam menyampaikan materi pendidikan di rangkum oleh Ki Hajar Dewantara menjadi “ Tri No “ yaitu nonton, niteni, dan niroke. Nonton yang artinya melihat, langkah awal atau yang paling gampang ialah melihat, apapun itu. Dalam fase melihat ini, individu cenderung akan memperhatikan. Lalu niteni, yang berarti menganalisis, mencermati sesuatu yang telah diperhatikan. Kemudian dapat niroke atu dijalankan, diaplikasikan. Dalam logikanya, sesuatu tidak dapat dicermati lalu dipraktikkan tanpa dilihat terlebih dahulu. Melihat dan langsung mempraktikan pun tidak bisa tanpa di analisis terlbih dahulu. Lalu akan sangat tidak berguna jika hanya melihat dan dicermati tanpa adanya pengaplikasian dari apa yang dilihat itu. Pendidikan sejatinya melakukan apa yang telah di lihat dan apa yang telah dicermati dan dianalisis. Dalam hal pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara kodrat anak dan peralatan pendidikan dikelompokkan dalam 3 kelompok. Pertama, masa kanak – kanak usia satu hingga tujuh tahun, dimana pada masa itu cenderung diberikan contoh dan pembiasaan yang akan merangsang habbit of mind seseorang. Kedua, masa pertumbuhan jiwa dan fikiran pada usisa tujuh hingga empat belas tahun. Dalam masa itu seseorang telah mengenal dan mengerti akan pengajaran. Selalin itu seseorang akan mengenali tentang perintah – paksaan – hukuman. Jika akan melakukan sesuatu, seseorang diusia tersebut cenderung menunggu perintah yang jika tidak mau akan timbul suatu paksaan dan jika perintah tersebut diabaikan maka akan mendapat hukuman. Masa ini sesuatu harus diperjelas, baik buruk nya, boleh atau tidaknya. Padahal pendidikan seharusnya tidak boleh seperti ini, karena sejatinya pendidikan ialah menuntun bukan menuntut. Terakhir ialah masa terbentuk budi pekerti dan kesadaran sosial pada usia empat belas hingga dua puluh satu tahun. Dalam masa ini individu dalam fase mencari pengalaman diri. Dimaksud pengalaman diri ialah segala sesuatu yang ia alami akan tercetak dalam benaknya sebagai pengalaman diri yang amat berharga. Namun patut dipertanyakan bahwa saat masuk usia empat belas namun masih berjiwa usia sepuluh apakah dapat selaras dengan masa nya, dan pula sebaliknya.

            Setelah berbicara mulai dari tujuan pendidikan hingga kodrat anak dan peralatan pendidikan, kini bergeser ke konsep pendidikan menuju kesempurnaan hidup. Ki Hajar Dewantara membagi konsep tersebut dalam beberapa bagian. Bagian pertama ialah pendidikan harus sesuai kodratnya atau sesuai dengan situasi dan kondisi. Pendidikan yaitu membaca secara utuh, bagaimana pendidikan itu masa lampau, akankah sama dengan pendidikan dimasa sekarang dan bagaimana perkiraan  dimasa depan. Pendidikan tidak serta merta menerima apapun yang masuk dan apa yang menjadi saran. Namun juga harus di filter atau disaring tidak semua yang baik dapat diterapkan karena hanya semata mata adanya suatu perubahan.

            Ki Hajar Dewantara pun mengkonsep pendidikan kerakyatan. Dimana mendidik anak sama dengan mendidik rakyat yang nantinya negara makmur karena rakyat itu. Dengan begitu anak akan mencintai bangsanya dan akan tertanam dasar yaitu karakter kebangsaan. Pendidiakn kerakyatan yaitu pendidikan yang tidak menciptakan jarak baik dengan keluarga ataupun masyarakat dan tidak menjadikan terasing. Pendidikan seharusnya dapat menjadikan satu untuk beberapa elemen bukan malah memberi jarak dan mengkotakkan satu dengan satu nya. Membangun budi pekerti dan kesosialan, implementasi pendidikan merupakan pada sosial, bagaimana dan apa perannya dalam kehidupan ditentukan bagaimana pendidikannya. Jika baik dalam pendidikan maka perilaku dan sikap nya dalam kehidupan sosial dapat ikut baik pula. Namun jika pendidikan penuh dengan tuntutan maka akan menjadikan suatu individu itu berakhir dengan individu yang individualis. Tidak kalah penting dalam pendidikan kerakyatan ini, yaitu pendidikan harus mampu membangun dasar budaya Indonesia.

            Ki Hajar Dewantara juga mengkritik pendidikan barat yang dewasa ini di dewakan oleh kebanyakan orang, padahal pendidikan Barat itu tidak selaras dengan Indonesia. Sebabnya yaitu dasar pendidikan Barat itu menekankan perintah – hukuman – ketertiban. Dari dasarnya saja sudah jelas tidak selaras, bagaimana itu akan menjadi suatu pendidikan bagi Indonesia. Pendidikan Barat menurut Ki Hajar Dewantara, “ Perkosaan atas kehidupan batin anak – anak “ dimana diperintah lalu diberi hukuman jika  tidak melakukan perintah tersebut dan mengharapkan pemenuhan dari perintah awal, itulah sistem pendidikan yang salah. Dimana perubahan atau tindakan seseorang tidak murni dari keinginan nya sendiri atau perkembangan potensinya bukan dari potensi yang ia miliki. Contoh nyata adalah ketika individu memiliki potensi seni yang kuat, namun lingkungan pendidikan nya menyampingkan potensinya dan malah memaksa ia melakukan hal yang lain dan parahnya potensi lain dalam dirinya tersebut harus membuahkan hasil dan harus mengubur dalam dalam potensi yang ia miliki, seakan akan ada ruang yang membatasi dan mematikan. Pendidikan Barat ialah penuh dengan spekulasi dan mendewakan angan – angan selaras dengan sifat individualisme. Yang dapat diperoleh dari pendidikan Barat ini ialah hanya copy dan menjauhkan dari bangsa. Pesan dari Ki Hajar Dewantara mengenai bagaimana sistem pendidkan yang baik bagi Indonesia mengaca pada zaman dahulu ialah dengan sistem asrama dan pondok. Dimana setiap hari siswa akan bertemu dan berbaur dengan orang yang ia jadikan teladan. Namun saat ini tidak bisa ditelan mentah mentah pesan tersebut, melainkan disesuaikan dengan apa yang terjadi dan menjadi suatu magnet untuk sistem pedidikan masa kini.

 

Penulis : Puteri Roviraika Pramestiningtyas (Korp REVOLUSI)

Posting Komentar

1 Komentar

  1. Kepribadian -pola fikir, bakat, minat, potensi- seseorang dibentuk oleh pengalaman empiris semasa hidup yang ia lewati. Kita yang sekarang dibentuk oleh kita yang lalu. Kita -manusia- hidup dalam ikatan ruang, waktu, hukum dan segala entitas kompleks yang menyertainya, disini boleh kita sebut itu sebagai lingkungan. Maka kepribadian seseorang dibentuk oleh lingkungan yang ia masuki. Proses hidup manusia di dalam lingkungannya inilah yang -perspektif humanisme- disebut dengan pendidikan. Masalahnya adalah kita ga bisa memilih sepenuhnya mau masuk ke lingkungan yang mana. Katakanlah keluarga, kita ga bisa memilih untuk masuk ke lingkungan keluarga yang seperti apa. Dimana keluarga menjadi variabel berdampak paling tinggi terhadap terbentuknya kepribadian seseorang. Karena keluarga menjadi lingkungan yang kita masuk didalamnya dengan intensitas interaksi paling tinggi sejak kepribadian kita belum terbentuk sama sekali. Namun bukan menjadi masalah, karena semua orang sama-sama ga bisa memilih lingkungan keluarga mana yang ingin ia masuki, maka lingkungan keluarga ini tak lagi masuk kriteria menjadi variabel berdampak paling tinggi. Karena pada akhirnya, kita berkesempatan sama untuk memilih lingkungan mana yang mau kita jadikan sebagai ruang membangun kepribadian sesuai dengan jati diri kita, tanpa menyisihkan keluarga yang telah membangun kepribadian kita sebelumnya. Jalan yang jauh, jangan lupa pulang :)

    BalasHapus